CLICK HERE FOR FREE BLOG LAYOUTS, LINK BUTTONS AND MORE! »

Minggu, 27 Desember 2015

Ini Kota Istimewa, Bukan Kota Metropolitan

Selamat malam,

Tujuh belas tahun sudah saya menjajaki kota yang istimewa ini. Mendapati keberagaman budaya di setiap sudutnya. Berbagai keramahan melengkapi tata krama. Nyaman. Saya tidak pernah tersesat di sini, saya selalu menemukan tempat untuk kembali. 

Tapi kini, hanya tersisa beberapa sudut. Meninggalkan ciri khas, yang membuat orang-orang rindu untuk kembali.

Saya menjatuhkan gerimis. Ketika orang-orang egois mulai memainkan klakson di setiap sudutnya. Wahai kalian pengguna jalan, perlukah kalian ku ajari membaca? Rambu jalan tak kau hiraukan. Mengklakson sembarangan. Dikejar waktu? Berangkatlah lebih pagi. kita juga memiliki deadline masing-masing. Tak hanya kalian, orang beroda empat yang memakai jalan. Tak hanya kalian pula, mesin beroda dua yang memakai jalan. Ini jalan umum, Mas, Mbak. Kota saya terlalu istimewa hanya untuk mendengarkan klakson bertubi-tubi. Saya tak lagi dapat membedakan, mana yang pendatang dan warga asal. Semua sama di mata saya. Hanya satu dua yang ber etika. Mungkin iya, saya akui. Ketika traffic light menyerukan warna kuning, saya masih menarik gas lebih kencang. Tapi saya tahu, ketika lampu merah di angka 5 saya tak akan menerobos ataupun membunyikan sesuatu yang memekakan telinga. 

Pertanyaan mulai terngiang di telinga saya. Kemana orang ramah, sopan santun dan memiliki tata krama dalam ingatan saya? Dalam kurun waktu tujuh belas tahun, secepat itukah? 

Getir rasanya. Ketika nama kota saya mulai menarik perhatian media. Bukan karena keistimewaannya yang dulu. Tapi karena perubahannya. Semiris itukah kamu sekarang, Sayang?

Hal ini masih teringat jelas ketika saya datang ke sekaten. Dulu.. sekaten adalah tempat dimana kita dapat menyegarkan pikiran. Bermain permainan yang ada tanpa peduli sekitar. Tapi yang saya lihat, hanya ada kamera, tongsis dimana-mana. Saya prihatin, sejauh inikah elektronik mempengaruhi kita? Tak bisakah kita hanya datang ke suatu tempat hanya untuk menikmatinya? Mungkin karena saya bukan tipe orang yang suka berfoto. Saya lebih memilih menyimpan apa yang saya lihat dengan mata. Jarang sekali ketika bepergian, saya berpikiran untuk berfoto. 

Dan ini hal terakhir yang ingin saya utarakan kepada kalian, wahai investor yang terhormat.
Kota saya istimewa karena tak banyak gedung pencakar langitnya. Kota saya istimewa karena becak dan andhong adalah kendaraan umumnya. Kota saya istimewa, karena disinilah para pelajar mendapat gelar sarjananya. Kota saya istimewa, karena keramah tamahannya. Kota saya istimewa, karena budayanya yang luar biasa. Dan kota saya istimewa, karena itulah namanyaa Jogjakarta. 

Kota saya istimewa, bukan karena modernisasinyaa. Bukan karena banyaknya hotel di setiap sudut mata. Bukan karena banyaknya kendaraan mesin beroda. Kota saya sudah istimewa jauh sebelum itu semua ada. 

Kota saya bukan kota metropolitan, tapi kota persinggahan. Kota yang membuat orang-orang nyaman dan merasa berada dirumah. Membuat mereka yang singgah enggan untuk meninggalkan. Membuat mereka merindukan setiap sudutnya. 

Silahkan datang ke Jogja. Entah untuk bekerja, belajar, tinggal, atau sekedar singgah. Tapi tolong, jangan buat kota saya kehilangan kata "Istimewa" dan "nyamannya". 

0 comments:

Posting Komentar