Suatu hari aku bertemu denganmu,
seperti kisah klasik ala remaja terdahulu. Ya, aku menemukan sosokmu setelah
beberapa lama kita menjadi teman satu sekolah. Selama itu kamu tak sekalipun
tertangkap indra penglihatanku, kamu pun sepertinya enggan untuk memasuki dunia
itu. Aku tidak yakin aku atau kamu yang pertama kali menyadari kehadiran
masing-masing. Sempat aku berpikir, mungkinkah karena aku yang tidak pandai
bergaul atau memang kamu yang tak pernah mau dipandang siapapun? Entahlah. Aku
baru akan mencari jawabannya ketika dengan tiba-tiba siluetmu kulihat
menghampiriku perlahan.
Tidak..tidak. jantungku tidak
berdebar dengan keras mulanya, tapi aku merasa aneh ketika sebuah suara yang
asing mulai memasuki indra pendengaranku. Aku tidak yakin bagaimana perasaanku
kala itu. Ini sungguh diluar dugaan dan sangat tiba-tiba. Kurasa ini pertama
kalinya kita saling menatap. Aku tidak bisa mendefinisikan sosok kamu, otakku
masih sibuk mencerna apa yang terjadi.
Semenjak semester dua ini, kita
sering kali terlibat perbincangan yang sebenarnya tidak menarik, tapi entah
magnet apa yang membuat kita, ralat. Aku dan kamu terlihat begitu asyik. Kita
bahkan sering tertawa atas sesuatu yang..sungguh benar-benar tidak lucu. Ada
apa ini? Aku rasa ada yang tidak beres denganku.
Terkadang aku merasa senang, ketika
aku mengetahui bahwa kamu tak sembarangan tersenyum dan berbicara kepada setiap
perempuan. Tapi kamu melakukannya padaku. Dan sebagai seorang perempuan, aku
telah menemukan sebuah kunci yang dulu ku sembunyikan. Tapi kalian tahu kan,
akhir bahagia dari sebuah kisah itu tidak ada. Yang ada hanyalah awal yang
bahagia atau awal yang menyedihkan, tanpa akhir.
Ada sebuah cerita yang mengusik
telingaku, bahwa sebenarnya hatimu telah berlabuh pada gadis lain. Sungguh,
sempat aku kecewa tapi tidak berlangsung lama. Dan ya, ternyata cerita itu
benar. Setelah sekian lama aku dan kamu bertukar sapa, kamu kembali pada dia.
Pada gadis yang selama ini kamu tunggu, bukan pada gadis yang beberapa lama ini
disampingmu. Tapi tak apa, aku baik-baik saja. Tak sekalipun rasa penyesalan
terbesit dalam benakku. Toh, dari awal aku juga tidak mengharapkanmu.
Tapi aku hanya ingin tahu beberapa
hal, apakah semua senyummu, tawamu, candamu, perhatianmu dan pujianmu hanya
sekedar kata-kata belaka atau memang jujur dari hatimu? Waktu-waktu yang dulu
apa akan tetap kau simpan dalam memori hatimu? Mungkin aku sedikit egois, tapi
apa aku salah jika aku mengganggap kamu pernah “goyah” waktu itu? Katakan
padaku bahwa aku memang sempat mendiami hatimu untuk beberapa waktu yang lalu.
Teruntuk, Kamu.
Yang membuat seragam abu-abuku
menjadi penuh warna.
0 comments:
Posting Komentar