Pengembangan
Metode Pembelajaran Matematika
Metode pembelajaran matematika memiliki banyak variasi yang kemudian dikelompokkan menjadi metode pembelajaran tradisional dan modern. Metode pembelajaran yang ada adalah hasil adaptasi dari teori belajar terdahulu. Pada perkembangannya, teori belajar kemudian dibagi menjadi beberapa aliran yaitu teori bahavioristik yang mendominasi semua teori, dilanjutkan dengan teori kognitif, kemudian teori konstruktivisme dan yang terbaru adalah teori connectivisme (pendekatan berbasis teknologi). Teori tersbut lahir dengan menyesuaikan perkembangan zaman.
Teori
belajar dalam psikologi yang banyak digunakan dalam pembelajaran adalah teori
belajar behavioristik. Teori tersebut menyatakan bahwa hasil proses belajar
melalui pengalaman yang dimiliki seseorang mampu mengubah tingkah lakunya.
Behavioristik berfokus pada pola perilaku baru yamg terus diulang sehingga
menjadi kebiasaan. Teori ini mengasumsikan beberapa hal, pertama teori ini
memandang pikiran sebagai black box dalam arti bahwa respons terhadap
rangsangan yang diberikan dapat diamati secara kuantitatif dan mengabaikan
kemungkinan proses berpikir dalam pikiran. Kemudian behavioristik memandang
siswa sebagai blank vessels yang menunggu untuk di isi sehingga
pengetahuan berada di luar/tidak tergantung siswa. Terakhir, teori ini
memandang bahwa perilaku yang terbentuk karena adanya konsekuensi.
Karakteristik
behavioristik adalah lebih mengarah pada motivasi ekstrinsik, mengukur
keberhasilan dengan uji coba, adanya pengulanagn berupa drill dan
latihan, serta lebih menekankan pada stimulus/respon yang berupa reward dan
punishment. Akan tetapi, teori ini juga memiliki beberapa kelemahan,
yaitu tidak memperhitungkan pemikiran dan pemikiran yang dimiliki. Jika
stimulus untuk respon yang “benar” hilang, siswa mungkin tidak memiliki
solusi/strategi alternatif sehingga dapat mengarah pada kebiasaan untuk
menghindar. Beberapa ahli dalam pengembangan teori behavioris adalah Pavlov,
Watson, Thorndike dan Skinner. Pavlov (1849-1936) menguraikan teorinya dengan
percobaan menggunakan makanan, anjing, dan bel. Kemudian muncul Thorndike
(1874-1949) yang mengatakan bahwa belajar merupakan hasil dari hubungan antara
stimulus dan respon. Ia kemudian menyampaikan tiga aturan yang kemudian disebut
sebagai Hukum Thorndike. Tiga hukum tersebut, yaitu The law of effect, The
law of excercise, dan The law of readiness. Hukum Thorndike didasarkan pada
hipotesis respons-stimulus. Ia percaya bahwa ikatan saraf akan dibentuk antara
stimulus dan respons ketika responsnya positif. Pembelajaran terjadi ketika
ikatan dibentuk menjadi pola perilaku. Selanjutnya terdapat Skinner. Teorinya
membahas perubahan perilaku yang dapat diamati, mengabaikan kemungkinan proses
apa pun yang terjadi di pikiran. Teorinya disebut sebagai Operant
Conditioning. Ia membagi pengkondisiannya menjadi empat, yaitu memberikan
reward, negative reinforcement, non-reinforcement (tidak ada tanggapan),
dan punishment (hukuman).
Untuk
mengaplikasikan teori ini, seorang guru perlu melakukan beberapa proses,
seperti memberikan dorongan supaya muridnya dapat merasakan rasa ingin tahu,
melakukan stimulus guna memperoleh respons siswa, dan melakukan penguatan
(reinforcement) atau pengulangan stimulus dalam bentuk berbeda. Teori
behavioristik dinilai terlalu fokus pada pendidik. Jadi, tantangannya adalah
guru harus lebih kreatif dalam menyampaikan suatu materi agar siswa tidak
bosan. Penguatan positif akan diberi pada tingkah laku yang diharapkan serta
sebaliknya tingkah laku yang tidak atau kurang cocok akan memperoleh penilaian
atau penghargaan negatif. Orang yang belajar diposisikan jadi individu yang
pasif serta memakai cara kusus untuk menyebabkan tanggapan atau tingkah laku
tersendiri. Pembelajaran serta penilaian pada teori behavioristik akan
didasarkan pada tingkah laku yang terlihat. Guru tidak bisa banyak memberi
penjelasan, tetapi akan memberi petunjuk singkat yang diikuti dengan pemberian
contoh lewat simulasi atau dari guru sendiri.
Selanjutnya
terdapat teori belajar kognitif yang dikategorikan sebagai pendekatan yang
mencakup kognitif sosial, proses informasi kognitif (Piaget), dan teori belajar
bermakna. Selain itu, ranah kognitif meluas sampai pada perkembangan kognitif.
Teori ini berkebalikan dengan behavioristik dimana lebih mengedepankan proses
berpikir. Perubahan perilaku diamati dan digunakan sebagai indikator tentang
apa yang terjadi di dalam pikiran siswa. Sejak tahun 1920-an orang mulai
menemukan keterbatasan dalam pendekatan behavioris untuk memahami pembelajaran.
Behavioris tidak dapat menjelaskan perilaku sosial tertentu. Misalnya, anak
tidak meniru semua tingkah laku yang telah dicontohkan berulang dan diperkuat.
Selain itu, mereka mungkin memodelkan perilaku baru beberapa hari atau minggu
setelah pengamatan awal pertama tanpa penguatan untuk perilaku tersebut. Karena
pengamatan ini, Bandura dan Walters menyatakan bahwa anak harus melakukan dan
menerima penguatan sebelum dapat belajar. Mereka menyatakan dalam buku mereka
mengenai kognitif sosial, bahwa seorang individu dapat mencontoh perilaku
dengan mengamati perilaku orang lain. Secara sederhana teori ini menggambarkan
bahwa belajar adalah aktivitas internal yang terdiri dari beberapa proses,
seperti pemahaman, mengingat, mengolah informasi, problem solving, analisis,
prediksi, dan perasaan. Ada juga yang menggambarkan
bahwa teori belajar kognitif itu ibarat komputer. Proses awalnya dimulai dengan
input data, kemudian mengolahnya hingga mendapatkan hasil akhir. Beberapa tokoh
yang berperan mengembangkan teori ini adalah Jean Piaget, Bruner, dan Ausubel. Dalam proses belajar mengajar di sekolah,
contoh penerapan teori kognitif adalah guru menggunakan bahasa yang mudah
dipahami oleh peserta didik serta memberi ruang bagi mereka untuk saling bicara
serta diskusi dengan teman-temannya.
Konsep
teori belajar kognitif memiliki karakteristik yaitu terdapat skema, model
pemrosesan yang melalui tiga tahap (sensory register, short term memory, dan
long term memory), efek yang bermakna, dan masih banyak lagi. Selain
itu, kata kunci dari teori ini adalah cara siswa melihat dan mengingat
informasi. Dalam teori ini, ilmu dan pengetahuan itu akan dibuat dalam diri
satu orang lewat proses hubungan yang terkait serta berkaitan dengan
lingkungan. Proses ini tidak berjalan sepotong-sepotong tetapi bersambung serta
lengkap. Guru bukan sumber evaluasi penting serta bukan kepatuhan siswa yang
akan dituntut dalam teori ini, tetapi refleksi tentang apa yang dikerjakan
siswa tentang yang diperintah serta dikerjakan oleh guru. Teori belajar ini
bukan berfokus pada hasil tetapi pada seberapa baik siswa mengorganisasi
pengalaman belajar yang didapatnya. Ausubel mengutamakan segi pengendalian atau
organizer yang disebut dampak penting pada belajar sedangkan Bruner fokus pada
pengelompokan atau penyediaan bentuk ide jadi satu jawaban bagaimana peserta
didik bisa mendapatkan informasi dari lingkungan. Sebagai siswa dalam
pembelajaran menggunakan teori ini dapat memanfaatkan peta konsep akan tetapi
perlu memperhatikan cogitive load masing-masing agar tidak terjadi cognitve
overload.
Teori
konstruktif sejatinya sudah ada dari dulu, namun masih digunakan sampai
sekarang karena bersifat efektif dan mampu beradaptasi dengan baik terhadap
perubahan zaman. Lewat teori konstruktif, peserta didik diajak untuk mendalami
pengetahuan secara bebas atau juga bisa memaknainya sesuai pengalaman. Dalam praktiknya, siswa akan diberi ruang
untuk membuat ide atau gagasan menggunakan bahasanya sendiri. Dampaknya, lewat
penjelasan yang familier, orang lain diharapkan mampu menerima ide yang
disampaikan dan merangsang imajinasinya. Dalam teori ini benar-benar diakui
jika siswa dapat cari sendiri permasalahannya, membuat pengetahuannya sendiri
lewat kekuatannya berpikir serta rintangan yang ditemui oleh beberapa siswa.
Mereka bisa mengakhiri serta membuat ide tentang keseluruhnya pengalaman yang
berbentuk fakta serta teori pada sebuah bangunan yang utuh. Teori ini
disimpulkan jadi usaha untuk membuat formasi hidup yang berbudaya kekinian.
Pengetahuan tidak dipandang seperti seperangkat bukti, ide atau aturan yang
telah siap untuk diambil serta diingat demikian saja tetapi harus
direkonstruksi oleh manusia serta dikasih arti yang didapatkan lewat pengalaman
yang ril. Siswa semakin lebih memahami karena ikut andil secara langsung dalam
membina pengetahuan baru serta akan dapat mengimplementasikan dalam semua
kondisi. Bila siswa terjebak dalam konsep belajar langsung, mereka dapat
mengingat informasi serta ide lebih lama. Karena sejatinya, belajar adalah
proses, bukan sekedar di kelas saja tetapi akan berlangsung seumur hidup
manusia.
Konstruktivis
percaya bahwa peserta didik membangun realitas mereka sendiri atau setidaknya
menafsirkannya berdasarkan persepsi pengalaman mereka, sehingga pengetahuan
individu adalah fungsi dari pengalaman sebelumnya, struktur mental, dan keyakinan
yang digunakan untuk menafsirkan objek dan peristiwa. Konstruktivisme realistis
- kognisi adalah proses di mana peserta didik pada akhirnya membangun struktur
mental yang sesuai atau cocok dengan struktur eksternal yang terletak di
lingkungan. Konstruktivisme radikal - kognisi berfungsi untuk mengatur dunia
pengalaman peserta didik daripada untuk menemukan realitas ontologis. Teori ini
berdasarkan premis bahwa kita semua membangun perspektif kita sendiri tentang
dunia, melalui pengalaman dan skema individu. Konstruktivisme berfokus pada
mempersiapkan pelajar untuk memecahkan masalah dalam situasi yang ambigu.
Terakhir
adalah teori belajar konektivisme. Terdapat beberapa pro dan kontra mengenai
teori belajar ini. Ahli yang menyatakan konektivisme merupakan teori
pembelajaran mengunggkapkan alasan berikut. Pertama, konektivisme dicirikan
sebagai peningkatan cara siswa belajar dengan pengetahuan dan persepsi yang
diperoleh melalui penambahan jaringan pribadi (Siemens, 2004). Hanya melalui
jaringan pribadi inilah pelajar dapat memperoleh sudut pandang dan keragaman
pendapat untuk belajar membuat keputusan kritis. Karena tidak mungkin mengalami
segalanya, pelajar dapat berbagi dan belajar melalui kolaborasi. Kedua,
banyaknya data yang tersedia membuat tidak mungkin bagi pelajar untuk
mengetahui semua yang dibutuhkan untuk secara kritis memeriksa situasi
tertentu. Mampu memanfaatkan database besar pengetahuan dalam sekejap
memberdayakan pelajar untuk mencari pengetahuan lebih lanjut. Kapasitas untuk
memperoleh pengetahuan seperti itu dapat memfasilitasi penelitian dan membantu
dalam menafsirkan pola. Ketiga, menjelaskan pembelajaran melalui teori
pembelajaran tradisional sangat dibatasi oleh perubahan cepat yang ditimbulkan
oleh teknologi. Konektivisme didefinisikan sebagai pengetahuan yang dapat
ditindaklanjuti, di mana pemahaman tentang di mana menemukan pengetahuan
mungkin lebih penting daripada menjawab bagaimana atau apa yang mencakup
pengetahuan itu.
Sudut
pandang yang berlawanan menimbulkan alasan mengapa konektivisme mungkin tidak
dianggap sebagai teori pembelajaran. Pertama, meskipun konektivisme adalah
pengembangan yang menarik untuk diskusi, ini bukanlah pendekatan pendidikan
yang sama sekali baru untuk belajar. Kedua, konektivisme merepresentasikan keadaan
saat ini dari teori pembelajaran alternatif yang sebelumnya seperti
konstruktivisme, behaviorisme dan kognitivisme, jadi dasar untuk teori baru ini
juga meragukan. Selain itu, Verhagen (2006) menyatakan bahwa konektivisme
adalah pandangan pedagogis Ketiga, sementara konektivisme mungkin berlaku untuk
bidang pengetahuan tertentu, itu tidak akan universal untuk semua mata
pelajaran.
Konstruktivisme
menawarkan kepada pendidik model atau representasi mental yang menggambarkan
sesuatu yang tidak dapat diamati atau dialami secara langsung. Strategi
behavioris mengajarkan fakta dan apa yang diperlukan untuk memahami konsep,
strategi kognitif fokus pada bagaimana proses harus dilaksanakan untuk
pembelajaran yang paling sukses, strategi konstruktivis menggunakan pergeseran
ke arah penerapan kehidupan nyata, di mana pelajar diberi kesempatan untuk
membangun makna pribadi dari apa yang disajikan. Konektivisme dapat digunakan
sebagai panduan atau teori instruksional penting untuk mengembangkan teori
pembelajaran sebelumnya untuk aplikasinya ke dunia global dan jaringan, tetapi
tidak sebagai teori pembelajaran yang berdiri sendiri. Dalam kerangka
konstruksionisme kognitif, Jean Piaget mendefinisikan dua prinsip pembelajaran.
Pertama, pembelajaran disajikan secara aktif, dan kedua, pembelajaran harus
otentik dan terhubung dengan kehidupan nyata. Konektivisme mendukung definisi
ini dengan menawarkan peluang teknologi khusus bagi pelajar untuk secara aktif
terlibat dalam pengetahuan. Siswa mampu mengenali dan menafsirkan pola dengan
menghubungkan ke keragaman jaringan perwakilan. Selain itu, mereka dapat
menyesuaikan diri secara pribadi dalam jaringan sosial yang mencakup para ahli
dari badan pengetahuan tertentu.
Keempat
teori tersebut tentunya memiliki kelemahan. Teori belajar Behaviorisme dapat
membuat peserta didik tidak dapat merespon karena belum pernah mengalami dan
tidak dapat membuat asimilasinya, selain itu respon yang diberikan sudah pasti
(otomatis). Kelemahan Kognitivisme adalah tidak semua siswa cocok dengan teori
ini karena karakteristik siswa yang berbeda. Kelemahan Konstruktivisme adalah
dalam situasi di mana kesesuaian penting, pemikiran dan tindakan yang berbeda
dapat menyebabkan masalah karena siswa mampu menafsirkan berbagai realitas,
pelajar lebih mampu menghadapi situasi kehidupan nyata. Jika seorang pelajar
dapat memecahkan masalah, mereka mungkin lebih baik menerapkan pengetahuan
mereka yang ada pada situasi baru.
Berdasarkan
uraian diatas, metode pembelajaran yang dapat digunakan dalam matematika adalah
perpaduan dari semua teori yang ada. Untuk teori belajar behavioristik,
guru/pendidik dapat digunakan sebagai apersepsi berupa motivasi ekstrinsik yang
dapat menambah semangat siswa untuk belajar. Dalam belajar matematika, motivasi
sangat penting karena matematika sendiri sering mendapat stigma negatif dari
masyarakat.
Teori
belajar yang sangat dibutuhkan dalam pengembangan model pembelajaran matematika
adalah teori belajar kognitif dan konstruktivisme karena memiliki pengaruh yang
besar dalam pemikiran dan perkembangan siswa. Teori belajar ini bukan berfokus
pada hasil tetapi pada seberapa baik siswa mengorganisasi pengalaman belajar
yang didapatnya sehingga akan melatih siswa untuk menganalisis dan memberikan
kesimpulan secara generalisasi. Kemudian untuk teori belajaar konstruktivisme
sangat membantu siswa dalam mengkonstruk pengetahuan secara mandiri. Siswa
tidak hanya berfokus pada guru tapi diberi kebebasan untuk mencari sumber
informasi sebanyak-banyaknya dari mana saja. Kedua teori tersebut kemudian
diejawantahkan menjadi suatu pendekatan pembelajaran berupa pendekatan
saintifik, model pembelajaran inquiry, discovery, dan sebagainya. Teori tersebut
sangat membantu siswa dalam mengembangkan keterampilan matematis dan juga
kompetensi dalam matematika. Selanjutnya untuk teori konektivisme dapat
digunakan sebagai strategi pembelajaran dengan mengaplikasikan teori-teori
sebelumnya.
Daftar
Pustaka
Duke,
B., Harper, G., & Johnston, M. (2013). Connectivism as a digital age
learning theory. The International HETL Review. Special Issue 2013 (pp. 4-13).
Kop,
R., & Hill, A. (2008). Connectivism: Learning theory of the future or
vestige of the past?. International Review of Research in Open and Distance
Learning. Vol 9 (3).
Mergel,
B. (1998). Instructional Design & Learning Theory. DOI: 10.1.1.645.7122
Siemens,
G. (2004) Connectivism: A Learning Theory for a Digital Age. http://www.itdl.org/journal/jan_05/article01.htm
Verhagen,
P. (2006). Connectivism: A new learning theory? Surf e-learning themasite, http://elearning.surf.nl/e-learning/english/3793.
0 comments:
Posting Komentar