CLICK HERE FOR FREE BLOG LAYOUTS, LINK BUTTONS AND MORE! »

Jumat, 22 Januari 2021

Tugas 7_Okta Islamiati_Filsafat

Pengembangan Metode Pembelajaran Matematika

Metode pembelajaran matematika memiliki banyak variasi yang kemudian dikelompokkan menjadi metode pembelajaran tradisional dan modern. Metode pembelajaran yang ada adalah hasil adaptasi dari teori belajar terdahulu. Pada perkembangannya, teori belajar kemudian dibagi menjadi beberapa aliran yaitu teori bahavioristik yang mendominasi semua teori, dilanjutkan dengan teori kognitif, kemudian teori konstruktivisme dan yang terbaru adalah teori connectivisme (pendekatan berbasis teknologi). Teori tersbut lahir dengan menyesuaikan perkembangan zaman.

Teori belajar dalam psikologi yang banyak digunakan dalam pembelajaran adalah teori belajar behavioristik. Teori tersebut menyatakan bahwa hasil proses belajar melalui pengalaman yang dimiliki seseorang mampu mengubah tingkah lakunya. Behavioristik berfokus pada pola perilaku baru yamg terus diulang sehingga menjadi kebiasaan. Teori ini mengasumsikan beberapa hal, pertama teori ini memandang pikiran sebagai black box dalam arti bahwa respons terhadap rangsangan yang diberikan dapat diamati secara kuantitatif dan mengabaikan kemungkinan proses berpikir dalam pikiran. Kemudian behavioristik memandang siswa sebagai blank vessels yang menunggu untuk di isi sehingga pengetahuan berada di luar/tidak tergantung siswa. Terakhir, teori ini memandang bahwa perilaku yang terbentuk karena adanya konsekuensi.

Karakteristik behavioristik adalah lebih mengarah pada motivasi ekstrinsik, mengukur keberhasilan dengan uji coba, adanya pengulanagn berupa drill dan latihan, serta lebih menekankan pada stimulus/respon yang berupa reward dan punishment. Akan tetapi, teori ini juga memiliki beberapa kelemahan, yaitu tidak memperhitungkan pemikiran dan pemikiran yang dimiliki. Jika stimulus untuk respon yang “benar” hilang, siswa mungkin tidak memiliki solusi/strategi alternatif sehingga dapat mengarah pada kebiasaan untuk menghindar. Beberapa ahli dalam pengembangan teori behavioris adalah Pavlov, Watson, Thorndike dan Skinner. Pavlov (1849-1936) menguraikan teorinya dengan percobaan menggunakan makanan, anjing, dan bel. Kemudian muncul Thorndike (1874-1949) yang mengatakan bahwa belajar merupakan hasil dari hubungan antara stimulus dan respon. Ia kemudian menyampaikan tiga aturan yang kemudian disebut sebagai Hukum Thorndike. Tiga hukum tersebut, yaitu The law of effect, The law of excercise, dan The law of readiness. Hukum Thorndike didasarkan pada hipotesis respons-stimulus. Ia percaya bahwa ikatan saraf akan dibentuk antara stimulus dan respons ketika responsnya positif. Pembelajaran terjadi ketika ikatan dibentuk menjadi pola perilaku. Selanjutnya terdapat Skinner. Teorinya membahas perubahan perilaku yang dapat diamati, mengabaikan kemungkinan proses apa pun yang terjadi di pikiran. Teorinya disebut sebagai Operant Conditioning. Ia membagi pengkondisiannya menjadi empat, yaitu memberikan reward, negative reinforcement, non-reinforcement (tidak ada tanggapan), dan punishment (hukuman).

Untuk mengaplikasikan teori ini, seorang guru perlu melakukan beberapa proses, seperti memberikan dorongan supaya muridnya dapat merasakan rasa ingin tahu, melakukan stimulus guna memperoleh respons siswa, dan melakukan penguatan (reinforcement) atau pengulangan stimulus dalam bentuk berbeda. Teori behavioristik dinilai terlalu fokus pada pendidik. Jadi, tantangannya adalah guru harus lebih kreatif dalam menyampaikan suatu materi agar siswa tidak bosan. Penguatan positif akan diberi pada tingkah laku yang diharapkan serta sebaliknya tingkah laku yang tidak atau kurang cocok akan memperoleh penilaian atau penghargaan negatif. Orang yang belajar diposisikan jadi individu yang pasif serta memakai cara kusus untuk menyebabkan tanggapan atau tingkah laku tersendiri. Pembelajaran serta penilaian pada teori behavioristik akan didasarkan pada tingkah laku yang terlihat. Guru tidak bisa banyak memberi penjelasan, tetapi akan memberi petunjuk singkat yang diikuti dengan pemberian contoh lewat simulasi atau dari guru sendiri.

Selanjutnya terdapat teori belajar kognitif yang dikategorikan sebagai pendekatan yang mencakup kognitif sosial, proses informasi kognitif (Piaget), dan teori belajar bermakna. Selain itu, ranah kognitif meluas sampai pada perkembangan kognitif. Teori ini berkebalikan dengan behavioristik dimana lebih mengedepankan proses berpikir. Perubahan perilaku diamati dan digunakan sebagai indikator tentang apa yang terjadi di dalam pikiran siswa. Sejak tahun 1920-an orang mulai menemukan keterbatasan dalam pendekatan behavioris untuk memahami pembelajaran. Behavioris tidak dapat menjelaskan perilaku sosial tertentu. Misalnya, anak tidak meniru semua tingkah laku yang telah dicontohkan berulang dan diperkuat. Selain itu, mereka mungkin memodelkan perilaku baru beberapa hari atau minggu setelah pengamatan awal pertama tanpa penguatan untuk perilaku tersebut. Karena pengamatan ini, Bandura dan Walters menyatakan bahwa anak harus melakukan dan menerima penguatan sebelum dapat belajar. Mereka menyatakan dalam buku mereka mengenai kognitif sosial, bahwa seorang individu dapat mencontoh perilaku dengan mengamati perilaku orang lain. Secara sederhana teori ini menggambarkan bahwa belajar adalah aktivitas internal yang terdiri dari beberapa proses, seperti pemahaman, mengingat, mengolah informasi, problem solving, analisis, prediksi, dan perasaan.  Ada juga yang menggambarkan bahwa teori belajar kognitif itu ibarat komputer. Proses awalnya dimulai dengan input data, kemudian mengolahnya hingga mendapatkan hasil akhir. Beberapa tokoh yang berperan mengembangkan teori ini adalah Jean Piaget, Bruner, dan Ausubel.  Dalam proses belajar mengajar di sekolah, contoh penerapan teori kognitif adalah guru menggunakan bahasa yang mudah dipahami oleh peserta didik serta memberi ruang bagi mereka untuk saling bicara serta diskusi dengan teman-temannya.

Konsep teori belajar kognitif memiliki karakteristik yaitu terdapat skema, model pemrosesan yang melalui tiga tahap (sensory register, short term memory, dan long term memory), efek yang bermakna, dan masih banyak lagi. Selain itu, kata kunci dari teori ini adalah cara siswa melihat dan mengingat informasi. Dalam teori ini, ilmu dan pengetahuan itu akan dibuat dalam diri satu orang lewat proses hubungan yang terkait serta berkaitan dengan lingkungan. Proses ini tidak berjalan sepotong-sepotong tetapi bersambung serta lengkap. Guru bukan sumber evaluasi penting serta bukan kepatuhan siswa yang akan dituntut dalam teori ini, tetapi refleksi tentang apa yang dikerjakan siswa tentang yang diperintah serta dikerjakan oleh guru. Teori belajar ini bukan berfokus pada hasil tetapi pada seberapa baik siswa mengorganisasi pengalaman belajar yang didapatnya. Ausubel mengutamakan segi pengendalian atau organizer yang disebut dampak penting pada belajar sedangkan Bruner fokus pada pengelompokan atau penyediaan bentuk ide jadi satu jawaban bagaimana peserta didik bisa mendapatkan informasi dari lingkungan. Sebagai siswa dalam pembelajaran menggunakan teori ini dapat memanfaatkan peta konsep akan tetapi perlu memperhatikan cogitive load masing-masing agar tidak terjadi cognitve overload.

Teori konstruktif sejatinya sudah ada dari dulu, namun masih digunakan sampai sekarang karena bersifat efektif dan mampu beradaptasi dengan baik terhadap perubahan zaman. Lewat teori konstruktif, peserta didik diajak untuk mendalami pengetahuan secara bebas atau juga bisa memaknainya sesuai pengalaman.  Dalam praktiknya, siswa akan diberi ruang untuk membuat ide atau gagasan menggunakan bahasanya sendiri. Dampaknya, lewat penjelasan yang familier, orang lain diharapkan mampu menerima ide yang disampaikan dan merangsang imajinasinya. Dalam teori ini benar-benar diakui jika siswa dapat cari sendiri permasalahannya, membuat pengetahuannya sendiri lewat kekuatannya berpikir serta rintangan yang ditemui oleh beberapa siswa. Mereka bisa mengakhiri serta membuat ide tentang keseluruhnya pengalaman yang berbentuk fakta serta teori pada sebuah bangunan yang utuh. Teori ini disimpulkan jadi usaha untuk membuat formasi hidup yang berbudaya kekinian. Pengetahuan tidak dipandang seperti seperangkat bukti, ide atau aturan yang telah siap untuk diambil serta diingat demikian saja tetapi harus direkonstruksi oleh manusia serta dikasih arti yang didapatkan lewat pengalaman yang ril. Siswa semakin lebih memahami karena ikut andil secara langsung dalam membina pengetahuan baru serta akan dapat mengimplementasikan dalam semua kondisi. Bila siswa terjebak dalam konsep belajar langsung, mereka dapat mengingat informasi serta ide lebih lama. Karena sejatinya, belajar adalah proses, bukan sekedar di kelas saja tetapi akan berlangsung seumur hidup manusia.

Konstruktivis percaya bahwa peserta didik membangun realitas mereka sendiri atau setidaknya menafsirkannya berdasarkan persepsi pengalaman mereka, sehingga pengetahuan individu adalah fungsi dari pengalaman sebelumnya, struktur mental, dan keyakinan yang digunakan untuk menafsirkan objek dan peristiwa. Konstruktivisme realistis - kognisi adalah proses di mana peserta didik pada akhirnya membangun struktur mental yang sesuai atau cocok dengan struktur eksternal yang terletak di lingkungan. Konstruktivisme radikal - kognisi berfungsi untuk mengatur dunia pengalaman peserta didik daripada untuk menemukan realitas ontologis. Teori ini berdasarkan premis bahwa kita semua membangun perspektif kita sendiri tentang dunia, melalui pengalaman dan skema individu. Konstruktivisme berfokus pada mempersiapkan pelajar untuk memecahkan masalah dalam situasi yang ambigu.

Terakhir adalah teori belajar konektivisme. Terdapat beberapa pro dan kontra mengenai teori belajar ini. Ahli yang menyatakan konektivisme merupakan teori pembelajaran mengunggkapkan alasan berikut. Pertama, konektivisme dicirikan sebagai peningkatan cara siswa belajar dengan pengetahuan dan persepsi yang diperoleh melalui penambahan jaringan pribadi (Siemens, 2004). Hanya melalui jaringan pribadi inilah pelajar dapat memperoleh sudut pandang dan keragaman pendapat untuk belajar membuat keputusan kritis. Karena tidak mungkin mengalami segalanya, pelajar dapat berbagi dan belajar melalui kolaborasi. Kedua, banyaknya data yang tersedia membuat tidak mungkin bagi pelajar untuk mengetahui semua yang dibutuhkan untuk secara kritis memeriksa situasi tertentu. Mampu memanfaatkan database besar pengetahuan dalam sekejap memberdayakan pelajar untuk mencari pengetahuan lebih lanjut. Kapasitas untuk memperoleh pengetahuan seperti itu dapat memfasilitasi penelitian dan membantu dalam menafsirkan pola. Ketiga, menjelaskan pembelajaran melalui teori pembelajaran tradisional sangat dibatasi oleh perubahan cepat yang ditimbulkan oleh teknologi. Konektivisme didefinisikan sebagai pengetahuan yang dapat ditindaklanjuti, di mana pemahaman tentang di mana menemukan pengetahuan mungkin lebih penting daripada menjawab bagaimana atau apa yang mencakup pengetahuan itu.

Sudut pandang yang berlawanan menimbulkan alasan mengapa konektivisme mungkin tidak dianggap sebagai teori pembelajaran. Pertama, meskipun konektivisme adalah pengembangan yang menarik untuk diskusi, ini bukanlah pendekatan pendidikan yang sama sekali baru untuk belajar. Kedua, konektivisme merepresentasikan keadaan saat ini dari teori pembelajaran alternatif yang sebelumnya seperti konstruktivisme, behaviorisme dan kognitivisme, jadi dasar untuk teori baru ini juga meragukan. Selain itu, Verhagen (2006) menyatakan bahwa konektivisme adalah pandangan pedagogis Ketiga, sementara konektivisme mungkin berlaku untuk bidang pengetahuan tertentu, itu tidak akan universal untuk semua mata pelajaran.

Konstruktivisme menawarkan kepada pendidik model atau representasi mental yang menggambarkan sesuatu yang tidak dapat diamati atau dialami secara langsung. Strategi behavioris mengajarkan fakta dan apa yang diperlukan untuk memahami konsep, strategi kognitif fokus pada bagaimana proses harus dilaksanakan untuk pembelajaran yang paling sukses, strategi konstruktivis menggunakan pergeseran ke arah penerapan kehidupan nyata, di mana pelajar diberi kesempatan untuk membangun makna pribadi dari apa yang disajikan. Konektivisme dapat digunakan sebagai panduan atau teori instruksional penting untuk mengembangkan teori pembelajaran sebelumnya untuk aplikasinya ke dunia global dan jaringan, tetapi tidak sebagai teori pembelajaran yang berdiri sendiri. Dalam kerangka konstruksionisme kognitif, Jean Piaget mendefinisikan dua prinsip pembelajaran. Pertama, pembelajaran disajikan secara aktif, dan kedua, pembelajaran harus otentik dan terhubung dengan kehidupan nyata. Konektivisme mendukung definisi ini dengan menawarkan peluang teknologi khusus bagi pelajar untuk secara aktif terlibat dalam pengetahuan. Siswa mampu mengenali dan menafsirkan pola dengan menghubungkan ke keragaman jaringan perwakilan. Selain itu, mereka dapat menyesuaikan diri secara pribadi dalam jaringan sosial yang mencakup para ahli dari badan pengetahuan tertentu.

Keempat teori tersebut tentunya memiliki kelemahan. Teori belajar Behaviorisme dapat membuat peserta didik tidak dapat merespon karena belum pernah mengalami dan tidak dapat membuat asimilasinya, selain itu respon yang diberikan sudah pasti (otomatis). Kelemahan Kognitivisme adalah tidak semua siswa cocok dengan teori ini karena karakteristik siswa yang berbeda. Kelemahan Konstruktivisme adalah dalam situasi di mana kesesuaian penting, pemikiran dan tindakan yang berbeda dapat menyebabkan masalah karena siswa mampu menafsirkan berbagai realitas, pelajar lebih mampu menghadapi situasi kehidupan nyata. Jika seorang pelajar dapat memecahkan masalah, mereka mungkin lebih baik menerapkan pengetahuan mereka yang ada pada situasi baru.

Berdasarkan uraian diatas, metode pembelajaran yang dapat digunakan dalam matematika adalah perpaduan dari semua teori yang ada. Untuk teori belajar behavioristik, guru/pendidik dapat digunakan sebagai apersepsi berupa motivasi ekstrinsik yang dapat menambah semangat siswa untuk belajar. Dalam belajar matematika, motivasi sangat penting karena matematika sendiri sering mendapat stigma negatif dari masyarakat.

Teori belajar yang sangat dibutuhkan dalam pengembangan model pembelajaran matematika adalah teori belajar kognitif dan konstruktivisme karena memiliki pengaruh yang besar dalam pemikiran dan perkembangan siswa. Teori belajar ini bukan berfokus pada hasil tetapi pada seberapa baik siswa mengorganisasi pengalaman belajar yang didapatnya sehingga akan melatih siswa untuk menganalisis dan memberikan kesimpulan secara generalisasi. Kemudian untuk teori belajaar konstruktivisme sangat membantu siswa dalam mengkonstruk pengetahuan secara mandiri. Siswa tidak hanya berfokus pada guru tapi diberi kebebasan untuk mencari sumber informasi sebanyak-banyaknya dari mana saja. Kedua teori tersebut kemudian diejawantahkan menjadi suatu pendekatan pembelajaran berupa pendekatan saintifik, model pembelajaran inquiry, discovery, dan sebagainya. Teori tersebut sangat membantu siswa dalam mengembangkan keterampilan matematis dan juga kompetensi dalam matematika. Selanjutnya untuk teori konektivisme dapat digunakan sebagai strategi pembelajaran dengan mengaplikasikan teori-teori sebelumnya.

 

 

Daftar Pustaka

Duke, B., Harper, G., & Johnston, M. (2013). Connectivism as a digital age learning theory. The International HETL Review. Special Issue 2013 (pp. 4-13).

Kop, R., & Hill, A. (2008). Connectivism: Learning theory of the future or vestige of the past?. International Review of Research in Open and Distance Learning. Vol 9 (3).

Mergel, B. (1998). Instructional Design & Learning Theory. DOI: 10.1.1.645.7122

Siemens, G. (2004) Connectivism: A Learning Theory for a Digital Age. http://www.itdl.org/journal/jan_05/article01.htm

Verhagen, P. (2006). Connectivism: A new learning theory? Surf e-learning themasite, http://elearning.surf.nl/e-learning/english/3793.

 

Okta Islamiati Filsafat

 


0 comments:

Posting Komentar