Pikiranku kosong. Mataku terpaku lurus.
Menatap Jalan Wonosari yang penuh keramaian di sore hari. Aku memacu motorku
untuk melaju lebih kencang. 80km/jam kala itu. Angka yang tertera pada speedometerku.
Hampir saja aku menarik gasku lebih kencang, sebelum lampu merah menghentikan
lajuku. Aku terhenyak. Sejenak. Entah kenapa aku ingin memacu motorku dengan
kecepatan penuh. Aku ingin rasa ini. Amarah, benci, kecewa, bahagia, menghilang
bersama lajuku yang melawan angin.
Aku letih.
Hujan yang deras sudah mulai mengalir melalui pelupuk mata. Ahh, segera saja aku meutup kaca dari helmku. Tak
ku hiraukan orang-orang yang memandangiku dengan tatapan aneh di perempatan
tadi. Aku sudah tak perduli. Air mata ini sudah lelah bersembunyi di dalam
hati. Aku tak tahu apa yang sedang aku pikirkan ketika memegang kendali motorku
kala itu. Hanya kamu. Entah kenapa, masalah ini selalu berhubungan dengan kamu.
I don’t
know why I’m act like that. I’m just too tired. When I’m looking back, you
always reminded me to the past. The day we shared together, the time we spent
together. Suddenly, that memories around my head. My feel for you was appeared without
permission. At the end, I’m just realized that you was not born to be with me. You’re
a perfect person who had enough friends. So I thought, perhaps the fate wouldn’t
make us together. They just want us to be friend, not more. I’m crying. Alone.
At the night, with a blink lamp without knowing other.
Senja akhirnya
telah berdiri di hadapan matahari. Aku masih memacu motorku
menuju tengah kota sembari menghapus rintik air mata yang memenuhi pipiku. Entah
kenapa, “ngebut” merupakan kesenangan tersendiri ketika kata-kata dan hal
lainnya tak mampu mengungkap segalanya. Hanya membiarkan ingatan itu hilang
bersama angin. Meski tak sebenarnya hilang, tapi itu melegakan. Melawan angin,
seperti melawan takdir. Bukan begitu? Meskipun iya, aku tetap menyukainya.
Kupacu motorku lebih kencang lagi. Entah kemana.
Just drive. 80km/jam.
0 comments:
Posting Komentar