Sabtu, 07 Maret 2015
Surat untuk Pak Pos
Mas, di rumahku sekarang sedang hujan lebat. Kamu tahu? Hujan. Air mata langit. Hari ini aku mengingatmu kembali, Mas. Maafkan aku.
Mas, hari ini aku merasa menjadi orang paling tolol sedunia. Kamu tahu kenapa? Karena aku sudah melewatkankan sesuatu yang sangat berharga. Sesuatu yang kerap kali aku impikan. Aku menyesal, Mas. Sangat. Tapi apa boleh buat? Semua sudah berlalu. Andai saja tadi aku lebih berani, andai saja aku menjadi diriku yang biasa ketika aku dengan teman-temanku. Tapi aku gagal, Mas. Dihadapanmu. Aku membeku. Hanya senyum dan tawa. Aku tak mampu berkata. Kamu sekarang sudah berbeda, Mas. Aku baru menyadarinya. Maaf. Karena baru kali ini aku melihatmu dari jarak sedekat itu. Menurutku. Sudah ya, Mas. Segini saja aku mengenangmu. Hujan juga sudah reda. Terimakasih sudah menyempatkan diri untuk mampir hari ini, Mas.
Selasa, 13 Januari 2015
A Letter
Senin, 22 Desember 2014
Iri? Mungkin.
Sabtu, 20 September 2014
Lagi.
Kamu harus tahu, jika setiap kata "hai" yang kau ucapkan adalah sebuah candu bagiku. Kata-kata itu bagai meninggikan harapku padamu. Jadi maafkan aku jika tak menyapamu duluan, bukan karena tak mau tapi aku tak sanggup. Harusnya kamu tahu jika aku sedang berpura-pura tak melihatmu. Harusnya kamu sadar jika aku tak mau terikat denganmu.
Rantai takdir kita bukan lingkaran, tapi garis sejajar yang tak berujung. Mungkin ini salahku, menganggap sikapmu meninggikan harap. Mungkin ini salahku berada ditengah-tengah kamu dan dia. Harusnya aku tahu bahwa selamanya jiwa itu menjadi miliknya.
Maafkan aku telah menjadi egois. Membiarkan bayang-bayangmu menemani hari-hariku. Membiarkan hatiku tetap berlabuh padamu.
Aku tak tahu siapa yang akan menang dalam perlawanan ini. Aku tak tahu siapa yang akhirnya akan kau pilih. Dia yang selalu membuat ekor di matamu, atau aku yang terus ada dibelakangmu?
Entahlah. Hanya biarkan rasa sukaku sekedar dalam batas mengagumi. Jangan biarkan aku berdebat dengan hatiku, karena aku tahu aku akan kalah.
Kamis, 07 Agustus 2014
Fifty-fifty. Fake or Real?
Rabu, 06 Agustus 2014
Teruntuk, Kamu.
Kamis, 13 Februari 2014
Apa Saja.
Hmm sepertinya aku kebanyakan cuap-cuap di bulan Januari, jadi kayaknya Februari ini nggak banyak yang pengen aku ungkapin. Tapi yang jelas, apapun dan bagaimanapun itu, sosok kamu masih tetap sama dimataku. Sosok kamu yang lebih menginginkan dia dibanding aku. Sosok kamu yang hanya menjadikanku halte bis daripada terminal. Well, it's ok. Itu lebih baik daripada aku tidak bisa melihatmu sama sekali. Aku punya sebuah puisi nih, buat kamu. Juga buat siapapun yang mungkin merasa lelah dengan penantian.
Kamis, 30 Januari 2014
Dear, Bias.
Sempat aku terpaku. Bahwa teman-temanku kerap kali berkata bahwa aku mengada-ada. Bahwa ini semua tak nyata. Kerap kali aku bersikukuh. Dia nyata. Karena dia hidup. Dia nyata karena orang-orang bisa melihat dan mendengarnya. Dia nyata, karena aku menyukainya. Bukankah itu cukup? Yayaya. Aku bodoh, memang. Tapi aku lebih suka dibodohi idolaku daripada oleh makhluk bernama cowok yang kerap kali membuat kita melupakan masa depan. Mereka itu berbeda. Idolaku memang tak sempurna. Aku juga tak memuja mereka seolah mereka Tuhan ataupun Rasulku. Aku hanya menyukai mereka. Sama seperti saat kalian menyukai seseorang secara diam-diam. Mengerti?